KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur saya panjatkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan
ridho-Nya sehingga akhirnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun
terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, itu merupakan fakta asli
kemampuan manusia yang pada dasarnya tidak pernah luput dari khilaf dan salah.
Pada kesempatan kali ini, alhamdulillah makalah ini
telah selesai disusun dengan memanfaatkan sumber-sumber referensi
yang saya peroleh. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan
wawasan lebih bagi pembaca pada umumnya dan khususnya bagi kami sebagai tim
penyusun.
Bekasi, Mei 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam kehidupan
sehari-hari banyak orang-orang yang tidak sadar bahwa setiap harinya mereka
melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli suatu barang atau menggunakan jasa
angkutan umum, perjanjian sewa-menyewa hal-hal tersebut merupakan suatu
perikatan. Perikatan di Indonesia diatur pada buku ke III KUHPerdata(BW).
Pengertian perikatan sendiri tidak diatur secara yuridis dalam KUHPerdata tapi
dapat dipahami melalui pendapat-pendapat para Sarjana Hukum dan Ahli Hukum,
yang kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa perikatan itu adalah hubungan
hukum antara subjek hukum (debitur dan kreditur) yang menimbulkan prestasi (hak
dan kewajiban) yang merupakan kepentingan di bidang kekayaan (sesuatu yang
dinilai dari nilai ekonomis).
Perikatan sendiri
memiliki berbagai macam atau jenis, berdasarkan KUHPerdata, macam-macam
perikatan diuraikan sebagai berikut :
·
Perikatan
Alternatif.
Perikatan yang prestasinya dua atau lebih dari
satu, tapi ihak yang berkewajiban ( debitur) hanya mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan satu prestasi saja yang dipilih baik oleh pihak yang berhak maupun
pihak yang berkewajiban.
·
Perikatan
Fakultatif .
Perikatan yang objek pretasinya hanya satu saja
,dan debitur dapat mengggantinya dengan objek yang lain berdasarakan kesepakatan
para pihak.
·
Perikatan
generik.
Perikatan yang objeknya ditentukan menurut
jenis dan jumlahnya.
·
Perikatan
Spesifik.
Perikatan yang objeknya ditentukan secara
terperinci.
·
Perikatan
dapat dibagi atau tidak dapat dibagi.
Perikatan yang objek prestasinya dapat dibagi
atau tidak dapat dibagi menurut sifat tujuan dari pihak yang bersangkutan.
·
Perikatan
tanggung renteng.
Perikatan yang dilakukan oleh beberapa kreditur
dengan satu kreditur atau sebaliknya dengan syarat debitur atau kreditur
menanggung secara keseluruhan semua kewajiban atau hak dari debitur atau
kreditur.
·
Perikatan
bersyarat.
Perikatan yang tergantung pada hal yang belum
pasti terjadi.
·
Perikatan
bersyarat batal.
Perikatan yang apabila peristiwa yang belum
pasti terjadi, tidak terjadi maka perikatan tersebut batal.
·
Perikatan
dengan syarat batal.
Perikatan yang apabila tidak dilakukan
prestasinya maka perikatan tersebut selesai.
·
Perikatan
ketetapan waktu.
Perikatan yang berakhir apabila jangka waktu
yang ditentukan habis.
2. Rumusan Masalah
- Apa pengertian hukum perikatan ?
- Apa dasar hukum perikatan ?
- Apa saja azas – azas hukum perikatan
?
- Apa wanprestasi dan akibat akibatnya
?
- Mengapa hapusnya perikatan ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Perikatan
Asal kata
perikatan dari obligatio (latin), obligation (Perancis, Inggris)
Verbintenis (Belanda = ikatan atau hubungan). Selanjutnya Verbintenis
mengandung banyak pengertian, di antaranya:Perikatan adalah hubungan hukum yang
terjadi di antara dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak
atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga
sebaliknya.
Perjanjian
adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk
melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka timbullah suatu peristiwa
berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Intinya, hubungan perikatan
dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Perjanjian
merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan, karena
hukum perjanjian menganut sistim terbuka. Oleh karena itu, setiap anggota
masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.
2. Dasar
Hukum Perikatan
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut :
a.
Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
b. Perikatan yang timbul
undang-undang.
Perikatan
yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH
Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari
undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen).
c.
Perikatan
terjadi karena undang-undang semata.
Perikatan
yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku
III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi
antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai
hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan.
Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat
pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen)
menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat),
penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal
termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
d. Perikatan terjadi karena
undang-undang akibat perbuatan manusia.
Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
3. Azas –Azas dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum
perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan
berkontrak dan azas konsensualisme.
a.
Asas
Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338
KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
b. Asas konsensualisme,
artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara
para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP
Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat yaitu sebagai berikut:
a.
Kata
Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak
yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut.
b. Cakap untuk Membuat Suatu
Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus
cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah
pengampuan.
c.
Mengenai
Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan
diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
d.
Suatu
sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus
mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan,
atau ketertiban umum.
4.
Wanprestrasi dan Akibat –
Akibatnya
Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan, misalnya ia (alpa) atau ingkar janji.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
-
Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
-
Melaksanakan
apa yand dijanjikannua, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
-
Melakukan
apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
-
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat
wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan
wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni :
-
Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni :
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni :
·
Biaya adalah
segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh
salah satu pihak.
·
Rugi adalah
kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh
kelalaian si debitor.
·
Bunga adalah
kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung
oleh kreditor.
-
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam
pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH
Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa
kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
-
Peralihan Risiko
Peralihan
risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di
luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek
perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
5. Hapusnya Perikatan
Perikatan
itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH
Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai
berikut :
- Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi
adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada
saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti
perikatan semula.
Ada
dua macam novasi yaitu :
·
Novasi
obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
·
Novasi
subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
- Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi
adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana
dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi
terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana
utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang
ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan
menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang
sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada
A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih
mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi
undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
·
Kedua-duanya
berpokok sejumlah uang atau Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan.
Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat
diganti.
·
Kedua-keduanya
dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
- Pembebasan utang
Undang-undang
tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan
utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk
menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk
tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang
adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan
kepada debitur.
Pembebasan
utang dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma - Cuma. Menurut pasal 1439 KUH
Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus
dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh
kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan
pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan
oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan,
kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan
:
· Pembebasan utang yang
diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang.
· Pembebasan utang yang
diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama.
· Pembebasan yang diberikan
kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
-
Musnahnya
barang yang terutang
Apabila
benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi
diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at
au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang
akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka
untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya
asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia
lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH
Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu
kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas
tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak
kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
-
Kebatalan
dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang
kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan
dapat dibatalkan. Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi
berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau
persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi hukum.
Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum
dianggap tidak pernah terjadi. Undang-undang menentukan bahwa perbuatan hukum
adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang
menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada
umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan
hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap
dirinya sendiri.
Syarat
yang membatalkan adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah
pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga
perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada
asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan
yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi
perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan
isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi
batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama
dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan
menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada
sejak dipenuhinya syarat itu.
-
Kedaluwarsa
Menurut
ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk
memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang
ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari
ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau waktu,
yaitu :
· Lampau waktu untuk
memperolah hak milik atas suatu barang, disebut ”acquisitive prescription”.
· Lampau waktu untuk
dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan, disebut
”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari
istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”.
Ada
juga terjemahan lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat
dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.
BAB III
Kesimpulan
Perikatan sendiri tidak diatur secara yuridis
dalam KUHPerdata tapi dapat dipahami melalui pendapat-pendapat para Sarjana
Hukum dan Ahli Hukum, yang kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa perikatan
itu adalah hubungan hukum antara subjek hukum (debitur dan kreditur) yang
menimbulkan prestasi (hak dan kewajiban) yang merupakan kepentingan di bidang
kekayaan (sesuatu yang dinilai dari nilai ekonomis).
Untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat yaitu sebagai berikut:
-
Kata
Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak
yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut.
-
Cakap
untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya
bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21
tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
-
Mengenai
Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan
diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
-
Suatu
sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus
mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan,
atau ketertiban umum.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar